Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia menilai menteri tenaga kerja Hanif Dhakiri telah menciptakan aib Presiden Joko Widodo terkait kisruh pencairan dana Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ketenagakerjaan.
Sebab itu, Aspek mendesak Jokowi biar mencopot Hanif Dhakiri dan juga mengganti Direksi BPJS.
Kisruh pencairan dana JHT, kata Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat, merupakan cermin orientasi dari pejabat di BPJS Tenaga Kerja dan Kemenaker.
"Penyusun PP 46/2015 memilih besaran 10 persen tanpa melibatkan serikat pekerja, menyerupai dana tersebut miliknya sendiri. Ini jawaban dari mental pejabat yang orientasinya dilayani bukan orientasi melayani, padahal yang dikelola ialah dana amanat milik pekerja," kata Mirah Sumirat melalui keterangan tertulisnya, di Jakarta, Selasa (07/07/2015).
Menurut Mirah, terbitnya PP 46 Tahun 2015 wacana pencairan dana JHT yang hanya sanggup dilakukan sesudah masa kepesertaan 10 tahun dan hanya sanggup diambil 10 persen saja serta sisanya gres sanggup diambil sesudah usia 56 tahun, pertanda penyusun PP 46/2015 tidak memahami kondisi pekerja yang menjadi 'pemilik dana amanat' yang sesungguhnya.
Kata Mirah, pejabat di Kemenaker dan BPJS telah mempermalukan Joko Widodo sebagai Presiden yang menandatangani PP 46/2015. Sebab, Presiden harus merevisi PP 46/2015 satu hari sesudah pemberlakuannya.
"Pembahasan rancangan PP 46/2015 pastinya melibatkan Kementerian Ketenagakerjaan dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan, tidak sekonyong-konyong ada di meja kerja Presiden," kata Mirah.
Lebih lanjut, Mirah juga mengingatkan seluruh pekerja untuk gotong royong mengawasi kinerja Direksi BPJS Ketenagakerjaan, alasannya dana yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan ialah milik pekerja dan nilainya sangat besar.
Berdasarkan informasi yang didapatkan pihaknya, pada Triwulan I 2015, total dana investasi yang dikelola BPJS Ketenagakerjaan mencapai Rp195,35 triliun, sedangkan hasil perolehan investasi tahun 2013 mencapai Rp15 triliun.
"Seharusnya pekerja diberitahu hasil pencapaian ini dan seluruh hasil perolehan investasi dikembalikan kepada akseptor dalam bentuk dana pengembangan. Hal ini harusnya dilakukan secara transparan," ujarnya.
Informasi yang harus disampaikan tersebut, kata Mirah, menyerupai berapa perolehan investasi yang diserahkan sebagai benefit kepada peserta, berapa yang dipakai untuk biaya operasional BPJS Ketenagakerjaan.
"Jangan hingga perolehan investasi yang seharusnya menjadi hak pekerja justru banyak terpakai untuk biaya operasional dan kemudahan pejabat di BPJS Ketenagakerjaan," ujarnya.
Mirah kembali mengingatkan pentingnya pengawasan dilakukan oleh semua pihak khususnya oleh serikat pekerja alasannya pekerja ialah pemilik dana amanat yang ada di BPJS Ketenagakerjaan.
"Jangan hingga terulang lagi skandal Jamsostek pada tahun 2005, yang kasusnya berawal dari tindakan investasi pembelian surat utang jangka menengah (MTN) total senilai Rp311 miliar, yang dilakukan oleh Direksi PT Jamsostek secara melawan hukum, yang memperkaya diri sendiri atau orang lain serta mengakibatkan kerugian keuangan Negara," ujarnya.
sumber rima.news
sumber rima.news