Dalam kebiasaan masyarakat Indonesia, sering memakai istilah “SILATURAHMI”, untuk mengungkapkan makna menyambung kasih sayang, dan masih jarang yang memakai kata “SILATURAHIM”.
Padahal kedua kata tersebut mempunyai arti/makna yang berbeda, walaupun susunan huruf-hurufnya hampir sama, bedanya hanya pada akhiran abjad ‘ha dan mim. Silaturahmi berasal dari kata “silah” yang bermakna menyambung, dan “rahmi” yang bermakna “rasa nyeri yang dirasakan seorang perempuan dikala melahirkan”.
Sementara Silaturahim berasal dari Bahasa Arab, yaitu dari kata “silah” dan “ar-rahim”. Kata shilah ialah bentuk mashdar dari kata washola-yashilu yang berarti ‘sampai, menyambung’. ar-Raghib al-Asfahani berkata, “yaitu menyatunya beberapa hal, sebagian dengan yang lain.” (al-Mufradat fi Gharibil Qur-an, hal. 525)
Jadi, jikalau yang kita maksud ialah acara menyambung kasih sayang, maka jangan keliru, gunakanlah kata “SILATURAHIM”.
Kegiatan atau aplikasi makna silaturahim yang banyak di praktekkan masyarakat, di antaranya dengan saling mengunjungi, bertandang, bantu-membantu dalam banyak sekali momentum, bertegur sapa, ataupun dengan saling tolong menolong. Akan tetapi, pada makna yang lebih luas, sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah, silaturahim juga bermakna menyambungkan sesuatu yang terputus. “Bukanlah yang dikatakan silaturahim itu ialah membalas kunjungan atau pemberian, melainkan silaturahim itu ialah menyambungkan apa yang telah terputus (HR. Bukhari Muslim).
Dari Abu Hurairah, Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ ، وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Siapa yang suka dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya hendaklah ia menyambung silaturrahmi.” (HR. Bukhari no. 5985 dan Muslim no. 2557)
Silaturahim ialah ibadah yang tidak ada kaitannya dengan waktu (Ramadhan, Hari Raya, atau yang lainnya), tidak ada dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah yang menjelaskan wacana tawaran untuk ber-silaturahmi khusus pada Hari Raya. Akan tetapi, perintah untuk bersilaturahmi bersifat umum, yang sanggup dilakukan kapan saja sesuai dengan kondisi dan kebutuhan.
Berbeda halnya, jikalau Silaturahim itu dilakukan pada dikala Hari Raya, misalnya, alasannya ialah memang tidak ada lagi kesempatan lain untuk sanggup bertemu, kecuali pada dikala Hari Raya, maka yang demikian ini tidak mengapa. Namun, jikalau hal ini dianggap suatu kemestian dan diyakini sebagai adat-istiadat yang berkaitan dengan fatwa islam, atau merupakan rangkaian ibadah yang harus dilakukan pada Hari Raya, atau menyakini, bahwa hal tersebut lebih utama apabila dilakukan pada Hari Raya, maka ini tidak benar, alasannya ialah Islam tidak mensyariatkan hal tersebut.
Dari hati yang paling dalam kami segenap “Management www.seputarcimahi.com” Mengucapkan :